Pecha Kucha event at the University of Indonesia, Communication Department

Pecha Kucha, Pekan Komunikasi Universitas Indonesia: My Web, My Place

May 13, 2012 , In: Events & Media , With: No Comments
0

Pecha Kucha 8 March 2011, one of my slide about agile working.

Sekitar satu tahun lalu, tepatnya 8 Maret 2011 saya diundang untuk mengisi sesi di acara tahunan Pekan Komunikasi Universitas Indonesia. Yes, it’s been a year and I just got a chance to write the story now.

Sesi Pekan Komunikasi yang saya ikuti berkolaborasi dengan Pecha Kucha, sebuah gerakan internasional yang bermula di Tokyo pada 2003, mengusung konsep presentasi unik 20×20. Artinya, setiap presenter yang mengisi Pecha Kucha, slide dibatasi 20 halaman dan setiap halaman hanya bisa dipaparkan dalam 20 detik. Artinya, 20 slides, 20 detik, total waktu 6.6 menit (www.pechakucha.org). It’s an honour for me to be one of the line up speakers, in an event where @pechakuchaJkt claimed as full of inspiration and ideas.

Tema Pecha Kucha pagi itu pun adalah My Web, My Place. Bagaimana sebagai pekerja humas di Jakarta, saya dapat menyiasati waktu dan tenaga untuk tetap melakukan pekerjaan tanpa harus melulu berjam-jam duduk manis di depan layar komputer. Sebaliknya, bagaimana saya tetap dapat melakukan pekerjaan, menghadiri meeting dan mengasuh dua anak, di saat yang bersamaan target pekerjaan tetap dapat tercapai *dan tambahan lagi buat saya, tetap dapat menjalankan hobi di luar pekerjaan kantor*

Solusinya memang hanya satu: technology. For this, I must thank Internet Connection, WIFI, laptop, smartphones, skype, and any gadgets that connect us to anyone from anywhere at anytime.

Mari berbicara tentang Jakarta yang semrawut macam benang kusut. Lahir dan besar di Jakarta, saya melihat kota ini bergerak mundur terkait transportasi darat. Melejitnya jumlah motor dan mobil tidak berbanding lurus dengan sarana jalan umum dan transportasi publik yang memadai. Puncaknya, perilaku berkendara mulai dari motor butut hingga mobil mewah, masih seringkali menyedihkan. Keruwetannya semakin menjadi dengan pengendara yang masih suka terlihat membuka jendela dan buang sampah sembarangan (bahkan di jalan tol).

Isi slide saya bukan tentang keluhan terhadap tidak kondusifnya jalanan di Jakarta terhadap produktivitas siapapun (bukan hanya pekerja kantoran, tetapi juga termasuk ibu-ibu yang antar jemput anak sekolah). Penekanan saya lebih kepada: bagaimana cara menyiasatinya? Di hadapan sekitar 300 mahasiswa/i komunikasi baik dari Universitas Indonesia maupun universitas lain di luar Jabodetabek, saya memaparkan tentang agile working. Konsep ini diperkenalkan oleh Unilever, my previous employer.

Apabila kita ambil cerita bu Indah dalam satu hari. Ibu beranak tiga ini tinggal di Bekasi, kantor di Sudirman. Setiap hari bangun jam 4 pagi, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga dan sekolah anak-anaknya, untuk kemudian berangkat naik ojek dari kompleks rumah pukul 7.00 ke terminal bis, berangkat naik bis dan terkena macet di tol Cawang, tiba di kantor pukul 9.00 bahkan terkadang 9.30. Idealnya dengan rutinitas seperti itu, ia bisa tiba di kantor pukul 8.00. Karena tidak ada yang ideal di bentaran aspal Jakarta, maka kendala tak terduga (hingga pada akhirnya terduga) muncul di berbagai kanal perjalanan: dari rumah menuju ke terminal, keterlambatan bis di terminal, kemacetan di Cawang, atau, kalau boleh jujur, kemacetan dari rumah: si anak susah mandi, ternyata PR belum dibuat, si bontot rewel tak mau ditinggal, hingga si bibi mendadak sakit. Pukul 16.00 ia pun harus segera pulang, karena 3 in 1 (sukur-sukur dapat tebengan), bis ke arah Bekasi penuh dan macet, hingga dapat dipastikan ibu sampai rumah pukul 19.00 ke atas. Intinya, setiap hari ibu Indah menghabiskan waktu 4-5 jam di perjalanan.

Jika pekerjaan kantor sedang tidak baik atau baru kena semprot bos atau ada yang mogok di jalan, kekesalannya dapat ditebak, langsung menjalar ke orang rumah. Ibu pulang kantor marah-marah. Atau ibu pulang kantor kerja lagi. Sounds familiar?

Now let’s look from employer’s perspective that SUPPORT agile working. Ternyata beberapa survei membuktikan bahwa penggunaan ruang kantor selama ini kurang maksimal. Sangat jarang yang menggunakan ruang kantor 100%. Rata-rata penggunaan ruang kantor secara utuh hanya 40%, 20% secara temporer tidak terpakai, dan 40% sama sekali kosong. Kekosongan (baik permanen maupun sementara) terjadi antara lain karena posisi masih lowong atau tipe pekerjaan seringkali berada di luar kantor. Lalu, mengapa perusahaan harus membayar sewa gedung atau ruangan yang cukup mahal setiap bulan apabila kegunaannya tidak maksimal? Meeting antar kota atau ke luar negeri pun saat ini dapat disiasati dengan teleconference, telepresence, and virtual team focus. Buat perusahaan, penghematan dapat dilakukan dari segi transportasi darat dan udara, serta dari segi waktu. Dilansir penghematan yang bisa diraih dari satu aktivitas ini bisa mencapai 30%.

Saat ini pun semakin menurun jumlah waktu yang dipergunakan individu di dalam ruangan/kubikelnya. Pekerjaan di masa kini semakin banyak yang mengutamakan teamwork. Artinya, banyak diskusi, banyak meeting. Artinya, banyak melakukan koordinasi pekerjaan di ruang meeting sambil berdiskusi, meninggalkan ruangan/meja masing-masing. Pertanyaannya, apakah masih perlu dedicated working space for each employee?  Mungkin untuk beberapa posisi seperti admin, sekretaris, atau resepsionis ya. Tetapi untuk mereka yang lebih sering berada di lapangan atau meeting dan melakukan perjalanan bisnis, rasanya disediakan public working station juga ok. Hanya bermodalkan kabel Internet, wifi, power outlets, and … voila! Those managers can work. Artinya, dengan agile working atau kerja dari mana saja, perusahaan dapat berhemat dari segi penyewaan ruang kerja (yang dihitung berdasarkan sqm yang berimbas terhadap pembayaran air, listrik, AC, dan service charge).

Saat ini pun banyak meeting yang dilakukan di cafe atau restoran untuk efisiensi waktu (dan seringkali juga karena tidak kebagian ruang meeting). Lagi-lagi akibatnya, ruang kerja ybs menjadi kosong.

Statement ini masih kontroversi, termasuk bagi penghuni sebuah perusahaan yang mendukung flexi hours & agile working sekalipun: “Working is not a PLACE, it’s a RESULT”. Silakan renungi dan bertukarpikiran. (jangan debat kusir lho ya 🙂 ). Buat saya pribadi, I trully agree the statement. Utamanya karena pekerjaan saya yang mengharuskan pergi kesana-kemari, rasanya sudah ketinggalan jaman apabila performa seseorang diukur dari berapa sering dan berapa lama seseorang nongkrong di kantor. Bukan juga saya mengesampingkan disiplin. Intinya: not abusing the flexibility, be responsible, and be mature with our roles.

Konsep agile working, termasuk di dalamnya unsur flexible hours dan work from home memang tidak mudah dilaksanakan dan diterima oleh semua orang. It takes changes of paradigm, including those who implement it. Saya pernah menjalankan fasilitas working from home seminggu sekali. Siapa bilang tidak menimbulkan kesalahpahaman? Anak bingung karena ibunya ada di rumah, tapi tak bisa bermain dengannya. Ibu harus menyesuaikan kedisiplinan karena rasanya tak kuasa menolak ajakan main anak namun pekerjaan tetap harus diselesaikan dari rumah.

Namun janganlah khawatir, semua bisa disesuaikan. Pikirkan saja manfaatnya. DELIVERABLES-nya: bekerja 8 jam/hari. Deadline terpenuhi. Komunikasi dengan tim lancar. KPI terpenuhi. PLUS masih bisa: antar anak sekolah. Melihat performance anak di sekolah. Antar anak les. Belanja ke pasar. Banking time. Berenang. Jogging. Creambath. MEMINIMALISIR: kemacetan di jalan. Kesel di jalan. Tua di jalan. JANGAN SAMPAI: Intinya tak tercapai, tapi PLUS-nya yang tercapai :D:D:D Remember, don’t abuse the flexibility.

My Web, My Place …

*written by Vera Makki www.veramakki.com*

Comments are closed.

Vera Makki

Personal Blog

Life is too short. Be kind, be grateful, and be surrounded with love. The rest will follow.